Belakangan ini, media sosial—khususnya TikTok—dibanjiri konten yang membahas istilah manchild. Mulai dari candaan, keluhan, hingga analisis serius, topik ini seakan menjadi perbincangan hangat di kalangan netizen Indonesia. Tapi, sebenarnya manchild itu apa sih? Apakah hanya sekadar lelucon atau ada makna psikologis di baliknya? Jika kamu penasaran atau bahkan merasa "tersindir" dengan istilah ini, yuk kita bahas tuntas di artikel ini—dari pengertian, ciri-ciri, dampaknya, hingga tips mengatasi perilaku manchild dengan bijak.
Manchild (atau man-child) adalah istilah dalam bahasa Inggris yang menggambarkan pria dewasa yang masih berperilaku seperti anak-anak, baik dari segi emosi, tanggung jawab, maupun pola pikir. Istilah ini bukan hal baru—sudah ada sejak lama dalam budaya pop, terutama di film dan acara TV yang menampilkan karakter pria "kekekanakan" (contoh: Peter Pan syndrome). Namun, baru-baru ini manchild kembali naik daun berkat tren di TikTok 2025, di mana banyak kreator—terutama perempuan—membagikan pengalaman mereka berinteraksi dengan pasangan atau teman yang bersikap manchild.
Menurut psikologi, manchild sering dikaitkan dengan:
Meski terdengar negatif, penting untuk diingat bahwa manchild bukanlah diagnosis medis. Ini lebih merupakan label budaya yang menggambarkan pola perilaku tertentu. Nah, supaya lebih jelas, yuk kita lihat ciri-ciri manchild yang sering dibahas di media sosial!
Kamu mungkin pernah bertemu—atau bahkan memiliki—sifat-sifat ini tanpa sadar. Berikut adalah 10 tanda klasik yang sering dikaitkan dengan manchild, beserta contoh konkretnya:
Pria dewasa yang masih mengandalkan orang tua untuk uang belanja, tidak punya tabungan, atau boros tanpa perencanaan. Contoh: Habis gajian langsung dibelanjakan untuk gadget atau gaming, tapi lupa bayar tagihan listrik.
Menganggap mencuci piring, menyapu, atau memasak adalah "tugas perempuan". Padahal, ini adalah tanggung jawab bersama dalam rumah tangga modern.
Selalu mengutamakan kebutuhan diri sendiri, misal: nonton film favoritnya tanpa kompromi, atau marah jika pasangannya tidak melayani keinginannya.
Bingung memilih antara kerja atau lanjut kuliah? Atau malah menunda-nunda keputusan penting seperti menikah atau membeli rumah. Ini tanda ketidakmatangan emosional.
Reaksinya berlebihan saat dikoreksi, misal: "Lo ngomong kayak ibuku!" atau langsung ghosting pasangan karena merasa "disakiti".
Masih minta ibu mencuci bajunya, memasak, atau bahkan mengatur jadwalnya meski sudah bekerja. Ini sering disebut mama's boy dalam tingkat ekstrem.
Alih-alih menyelesaikan konflik, mereka memilih avoidance: main game berjam-jam, nonton streaming sampai pagi, atau bahkan kabur dari rumah tanpa kabar.
Tidak punya tujuan karier, tidak menabung untuk pensiun, atau bahkan tidak tahu mau apa 5 tahun ke depan. "Yah, serah aja, nanti juga ketemu jalan."
Alih-alih ngomong langsung, mereka memberi hint yang ambigu atau diam seribu bahasa. Contoh: "Ya udah, lo mau gitu ya…" tanpa jelasin masalahnya.
Contoh: "Kenapa sih, aku kan capek kerja! Lo suruh aku cuci piring lagi?" Padahal, itu adalah bagian dari hidup berumah tangga.
Gimana? Apakah ada poin-poin di atas yang "nyambung" dengan diri kamu atau orang terdekat? Jika iya, jangan panik dulu! Manchild bukan berarti "gagal sebagai pria", tapi lebih pada keterlambatan dalam proses kedewasaan. Yang penting, ada kesadaran untuk berubah.
Tidak ada satu penyebab pasti mengapa seseorang bersikap manchild, tetapi para ahli psikologi menyebutkan beberapa faktor yang berkontribusi:
Anak yang terlalu dimanjakan atau selalu "diselamatkan" dari kesulitan oleh orang tuanya cenderung tidak belajar mandiri. Contoh: ibu yang selalu membersihkan kamar anaknya sampai dewasa.
Beberapa pria menghindari tanggung jawab karena takut gagal atau trauma akan harapan yang terlalu tinggi. Misal: pernah dicela keras saat kecil karena melakukan kesalahan.
Film, acara TV, atau influencer yang menggambarkan pria "kekekanakan" sebagai sesuatu yang "cool" (contoh: karakter playboy yang tidak pernah serius) bisa mempengaruhi pola pikir.
Jika seorang anak tumbuh tanpa figur pria dewasa yang bertanggung jawab (misal: ayah yang absen atau tidak peduli), ia mungkin kesulitan mencontoh perilaku matang.
Di era modern, banyak pria merasa tertekan dengan standar kesuksesan yang tinggi (misal: harus punya rumah, mobil, karier gemilang). Akibatnya, mereka "kabur" ke dunia fantasi (game, binge-watching) untuk menghindari realita.
Nah, jika kamu atau pasangan menunjukkan ciri-ciri manchild, jangan langsung menyalahkan. Cobalah untuk introspeksi: apakah ini masalah pribadi, atau ada faktor eksternal yang mempengaruhi? Jika perlu, berkonsultasilah dengan psikolog atau Tugasin untuk mendapatkan panduan mengelola emosi dan tanggung jawab dengan lebih baik.
Meskipun terkadang lucu atau dianggap "imut", perilaku manchild bisa berdampak serius jika dibiarkan berlarut-larut. Berikut beberapa konsekuensinya:
Pasangan atau teman dekat akan merasa kelelahan emosional karena selalu harus "mengasuh" orang dewasa. Ini bisa memicu konflik, perselingkuhan, atau bahkan perceraian.
Pria yang tidak bisa disiplin atau mengambil inisiatif sulit mendapatkan promosi. Bos atau rekan kerja akan meragukan kemampuannya memimpin.
Menghindari tanggung jawab justru menambah stres dalam jangka panjang. Rasa bersalah, kecemasan, atau depresi bisa muncul ketika mereka menyadari diri sendiri "tertinggal" dibanding teman sebaya.
Tanpa perencanaan keuangan, mereka berisiko terjerat utang atau tidak bisa mandiri secara ekonomi. Ini juga membebani orang tua atau pasangan.
Masyarakat cenderung "labeling" pria manchild sebagai "lemah" atau "tidak bisa diandalkan". Ini bisa mempersulit mereka dalam membangun relasi atau karier.
Yang menarik, dampak manchild tidak hanya dirasakan oleh pria itu sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Misalnya, istri yang harus bekerja ganda (di kantor dan di rumah) karena suami tidak membantu, atau anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah yang bertanggung jawab.
Jika kamu menyadari diri sendiri atau orang terdekat memiliki ciri-ciri manchild, jangan putus asa! Perilaku ini bisa diubah dengan kesadaran dan usaha. Berikut adalah 7 langkah praktis untuk mengatasinya:
Langkah pertama adalah jujur pada diri sendiri. Tanyakan: "Apakah aku benar-benar sudah dewasa, atau masih bergantung pada orang lain?" Tanpa pengakuan, perubahan tidak akan terjadi.
Jangan langsung memaksakan diri untuk "sempurna". Mulailah dari hal kecil:
Carilah figur pria dewasa yang kamu kagumi (bisa teman, keluarga, atau tokoh publik) dan pelajari kebiasaan mereka. Misal: bagaimana mereka mengelola waktu, uang, atau hubungan.
Belajar mengelola amarah, menerima kritik, dan berempati. Bisa dengan:
Jika masih tinggal serumah, cobalah untuk:
Buatlah rencana konkret untuk 1, 5, atau 10 tahun ke depan. Misal:
Beritahu pasangan, keluarga, atau teman bahwa kamu ingin berubah dan minta mereka untuk:
Ingat, perubahan tidak terjadi dalam semalam. Butuh kesabaran dan konsistensi. Jika merasa kesulitan, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional, seperti psikolog atau konselor. Kamu juga bisa memanfaatkan layanan Tugasin untuk mendapatkan sumber daya pengembangan diri yang tepat.
Seringkali, manchild disamakan dengan Peter Pan syndrome, tetapi sebenarnya keduanya memiliki perbedaan mendasar:
Manchild | Peter Pan Syndrome |
---|---|
Lebih fokus pada perilaku (malas, egois, menghindari tanggung jawab). | Merupakan gangguan psikologis yang ditandai dengan ketakutan akan kedewasaan. |
Bisa diubah dengan kesadaran dan usaha. | Membutuhkan terapi profesional karena berakar pada trauma atau kecemasan. |
Sering dianggap "lucu" atau dijadikan bahan lelucon. | Dipandang sebagai masalah serius yang mempengaruhi kualitas hidup. |
Jadi, tidak semua manchild menderita Peter Pan syndrome, tetapi jika perilaku "kekekanakan" sudah mengganggu fungsi sehari-hari (misal: tidak bisa bekerja atau menjalin hubungan), sebaiknya konsultasikan dengan ahli.
Istilah manchild memang sedang viral di TikTok 2025, tetapi di balik tren ini ada pesan penting: kedewasaan bukan tentang usia, melainkan tentang sikap. Jika kamu atau orang terdekat menunjukkan ciri-ciri manchild, jangan langsung menjustifikasi atau menyalahkan. Yang terpenting adalah kesadaran dan keinginan untuk berubah.
Ingat, setiap orang memiliki proses kedewasaan yang berbeda. Yang penting adalah terus belajar, bertanggung jawab, dan membangun hubungan yang sehat—baik dengan diri sendiri maupun orang lain. Jika membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk mencari sumber daya, seperti buku, terapi, atau platform pengembangan diri seperti Tugasin.
Bagaimana pendapatmu tentang fenomena manchild ini? Apakah kamu setuju jika istilah ini hanya sekadar tren, atau memang ada masalah mendasar di baliknya? Share pendapatmu di kolom komentar, ya!
Tim ahli kami siap membantu Anda menyelesaikan tugas akademik dengan kualitas terbaik. Dapatkan bantuan profesional untuk skripsi, tesis, dan berbagai jenis tugas kuliah.
Konsultasi Gratis Sekarang