Pernahkah kamu diminta menulis discussion text untuk tugas bahasa Inggris, tapi bingung harus mulai dari mana? Atau mungkin kamu sering menemui teks jenis ini di buku pelajaran atau artikel, tapi sulit membedakannya dengan jenis teks lainnya? Tenang—kamu tidak sendirian! Discussion text memang menjadi salah satu materi yang sering membuat pelajar merasa kesulitan, terutama karena struktur dan kaidah penulisannya yang khas.
Di artikel ini, kita akan mengupas tuntas apa itu discussion text, mulai dari pengertian dasar, ciri-ciri yang membedakannya dengan teks argumentatif, struktur baku yang harus diikuti, hingga 5 contoh discussion text lengkap beserta terjemahannya. Plus, kami juga akan berbagi tips praktis agar kamu bisa menulis teks diskusi yang logis, meyakinkan, dan sesuai standar akademik. Jadi, simak baik-baik—siapa tahu setelah ini, tugas menulismu jadi lebih mudah dan mendapatkan nilai memuaskan!
Oh ya, jika kamu sedang kebingungan dengan tugas-tugas bahasa Inggris lainnya—seperti essay, speech, atau report text—kamu bisa kok mencari referensi atau bantuan tambahan di platform terpercaya. Sekarang, mari kita mulai dengan memahami konsep dasar discussion text!
Discussion text (atau teks diskusi) adalah jenis teks dalam bahasa Inggris yang menyajikan suatu masalah atau isu dari berbagai sudut pandang, kemudian diikuti dengan analisis mendalam untuk mencapai kesimpulan. Berbeda dengan argumentative text yang bertujuan meyakinkan pembaca untuk setuju dengan satu pendapat, discussion text justru menyeimbangkan pro dan kontra sebelum memberikan penilaian akhir.
Tujuan utama dari teks ini adalah:
Contoh topik yang sering dibahas dalam discussion text antara lain: "Apakah media sosial lebih banyak merugikan atau menguntungkan?", "Haruskah sekolah menghapus ujian nasional?", atau "Apakah hewan peliharaan baik untuk kesehatan mental?". Topik-topik ini sengaja dipilih karena memiliki dua sisi yang kuat dan bisa diperdebatkan.
Agar tidak tertukar dengan jenis teks lainnya, kenali dulu 7 ciri khas discussion text berikut ini:
Teks diskusi selalu membahas topik yang memiliki pro dan kontra jelas, bukan sekadar fakta atau opini sepihak. Misalnya, "Apakah game online berdampak buruk bagi anak-anak?"—topik ini bisa dibahas dari sudut pandang psikologi, pendidikan, dan sosial.
Hindari kata-kata emosional seperti "sangat buruk" atau "pasti benar". Sebaliknya, gunakan frasa netral seperti "beberapa penelitian menunjukkan…" atau "di satu sisi, ada yang berpendapat…".
Ini adalah poin krusial—discussion text harus mengikuti urutan logis: memperkenalkan isu, menyajikan argumen pro-kontra, lalu menutup dengan kesimpulan seimbang. Kita akan bahas struktur ini lebih detail di bagian selanjutnya!
Kata penghubung seperti however, on the other hand, nevertheless, whereas sangat sering muncul untuk membandingkan sudut pandang. Contoh: "While some people believe that… others argue that…".
Argumen dalam discussion text bukan sekadar opini kosong. Setiap pernyataan sebaiknya disertai data, penelitian, atau contoh konkret untuk memperkuat kredibilitas. Misalnya: "Menurut studi dari Harvard (2023), 60% remaja yang menghabiskan waktu lebih dari 3 jam sehari di media sosial mengalami penurunan konsentrasi."
Berbeda dengan teks persuasif, kesimpulan dalam discussion text tidak memaksakan pendapat, melainkan merangkum argumen secara objektif. Kadang, penulis bahkan bisa menyimpulkan bahwa "kedua belah pihak memiliki alasan yang valid".
Umumnya, discussion text memiliki 3–5 paragraf (tergantung kompleksitas topik), dengan pembagian yang seimbang antara argumen pro dan kontra.
Nah, sekarang kita masuk ke bagian terpenting: struktur baku discussion text. Jika kamu ingin menulis teks diskusi yang benar dan efektif, ikuti kerangka berikut ini:
Bagian ini berfungsi untuk:
Contoh introduction:
"The rise of remote work has transformed the traditional office landscape. While some companies embrace this shift as a way to increase flexibility and reduce costs, others argue that working from home leads to decreased productivity and communication barriers. This essay will examine both sides of the debate to determine whether remote work is ultimately beneficial or detrimental to employees and businesses."
Di sini, kamu menyajikan 2–3 argumen kuat yang mendukung satu sisi isu. Setiap argumen harus:
Contoh arguments for (topik work from home):
"Firstly, remote work eliminates commuting time, which can save employees up to 10 hours per week (Global Workplace Analytics, 2024). This extra time can be used for rest or personal development, leading to better work-life balance. Secondly, studies show that employees who work from home report 22% higher productivity due to fewer office distractions (Stanford University, 2023)."
Sama seperti bagian sebelumnya, tetapi kali ini kamu menyajikan 2–3 argumen yang menentang isu tersebut. Pastikan:
Contoh arguments against:
"However, critics argue that remote work can isolate employees, reducing collaboration and creativity. A survey by Buffer (2024) found that 35% of remote workers struggle with loneliness, which can impact mental health. Additionally, managers often find it challenging to monitor performance remotely, leading to potential misuse of work hours."
Bagian penutup ini tidak boleh sekadar mengulang argumen! Kesimpulan yang baik harus:
Contoh conclusion:
"In conclusion, while remote work offers undeniable benefits such as flexibility and reduced stress, it also presents challenges like social isolation and management difficulties. The ideal solution may lie in a hybrid model, combining the advantages of both remote and in-office work. Ultimately, the effectiveness of remote work depends on individual circumstances and how well companies adapt to this evolving work culture."
Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini kami sajikan 5 contoh discussion text dengan berbagai topik, dilengkapi terjemahan bahasa Indonesia. Kamu bisa gunakan contoh-contoh ini sebagai referensi untuk tugas atau latihan menulis!
English Version:
"The debate over whether school uniforms should be compulsory has been ongoing for decades. Proponents argue that uniforms promote equality and reduce bullying, as students are not judged by their clothing. A study by the University of Nevada (2023) found that schools with uniform policies reported 15% fewer incidents of peer pressure related to fashion. Additionally, uniforms can save parents money, as they eliminate the need to buy trendy outfits.
On the other hand, opponents claim that uniforms restrict self-expression, which is crucial during adolescence. Psychologists suggest that clothing choices allow students to explore their identity (American Psychological Association, 2024). Furthermore, some parents argue that uniforms can be expensive if purchased from specific suppliers, defeating the purpose of cost-saving.
In the end, while uniforms have clear benefits in fostering discipline and reducing social divisions, they may also limit personal freedom. A balanced approach could involve optional uniform days or allowing minor customizations to accommodate individuality."
Terjemahan:
"Perdebatan mengenai apakah seragam sekolah harus diwajibkan sudah berlangsung selama puluhan tahun. Pendukung berpendapat bahwa seragam mempromosikan kesetaraan dan mengurangi perundungan, karena siswa tidak dinilai dari pakaian mereka. Sebuah studi oleh Universitas Nevada (2023) menemukan bahwa sekolah dengan kebijakan seragam melaporkan 15% lebih sedikit kasus tekanan teman sebaya terkait mode. Selain itu, seragam dapat menghemat uang orang tua karena menghilangkan kebutuhan membeli pakaian trendy.
Di sisi lain, penentang mengklaim bahwa seragam membatasi ekspresi diri, yang sangat penting selama masa remaja. Psikolog menyarankan bahwa pilihan pakaian memungkinkan siswa mengeksplorasi identitas mereka (American Psychological Association, 2024). Selain itu, beberapa orang tua berpendapat bahwa seragam bisa mahal jika dibeli dari pemasok tertentu, sehingga mengalahkan tujuan penghematan biaya.
Pada akhirnya, meskipun seragam memiliki manfaat jelas dalam menumbuhkan disiplin dan mengurangi kesenjangan sosial, seragam juga dapat membatasi kebebasan pribadi. Pendekatan seimbang bisa melibatkan hari seragam opsional atau mengizinkan penyesuaian kecil untuk mengakomodasi individualitas."
English Version:
"Social media has become an integral part of modern life, but its impact remains controversial. Supporters argue that platforms like Instagram and TikTok connect people globally, fostering communities and spreading awareness about social issues. For instance, the #MeToo movement gained momentum through social media, empowering victims of harassment to share their stories (Pew Research, 2024). Additionally, businesses use social media for cost-effective marketing, reaching millions of potential customers.
Conversely, critics highlight the negative effects of social media on mental health. Research from the Royal Society for Public Health (2025) shows that excessive use of platforms like Facebook and Snapchat is linked to increased anxiety and depression among teens. Moreover, the spread of misinformation on social media has real-world consequences, such as influencing election outcomes or promoting harmful trends like dangerous diet challenges.
Given these points, social media is a double-edged sword. While it offers unparalleled opportunities for connection and activism, its risks—particularly for vulnerable groups—cannot be ignored. Regulation and digital literacy education may be key to maximizing its benefits while minimizing harm."
Terjemahan:
"Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, tetapi dampaknya tetap kontroversial. Pendukung berargumen bahwa platform seperti Instagram dan TikTok menghubungkan orang secara global, membangun komunitas, dan menyebarkan kesadaran tentang isu sosial. Misalnya, gerakan #MeToo mendapatkan momentum melalui media sosial, memberdayakan korban pelecehan untuk berbagi cerita mereka (Pew Research, 2024). Selain itu, bisnis menggunakan media sosial untuk pemasaran yang hemat biaya, menjangkau jutaan calon pelanggan.
Sebaliknya, kritikus menyoroti dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental. Penelitian dari Royal Society for Public Health (2025) menunjukkan bahwa penggunaan berlebihan platform seperti Facebook dan Snapchat berkaitan dengan peningkatan kecemasan dan depresi pada remaja. Selain itu, penyebaran misinformasi di media sosial memiliki konsekuensi nyata, seperti memengaruhi hasil pemilu atau mempromosikan tren berbahaya seperti tantangan diet ekstrem.
Mengingat poin-poin ini, media sosial adalah pedang bermata dua. Meskipun menawarkan peluang tak tertandingi untuk koneksi dan aktivisme, risikonya—terutama bagi kelompok rentan—tidak bisa diabaikan. Regulasi dan pendidikan literasi digital mungkin menjadi kunci untuk memaksimalkan manfaatnya sambil meminimalkan bahaya."
English Version:
"The influence of video games on children's development is a hotly debated topic. Advocates point out that games can enhance cognitive skills, such as problem-solving and hand-eye coordination. A study published in Nature (2024) found that children who played strategy games showed a 12% improvement in memory and attention span. Furthermore, multiplayer games teach teamwork and communication, as players must collaborate to achieve goals.
However, opponents warn about the potential dangers of excessive gaming. The World Health Organization (2025) classifies gaming disorder as a mental health condition, characterized by impaired control over gaming habits. Excessive screen time is also linked to obesity and sleep deprivation in children. Additionally, violent games have been controversially associated with aggressive behavior, though research on this remains inconclusive.
To conclude, video games are not inherently good or bad—their impact depends on the type of game, duration of play, and parental guidance. Moderation and selecting age-appropriate games are essential to ensuring that gaming remains a positive experience for children."
Terjemahan:
"Pengaruh video game terhadap perkembangan anak adalah topik yang banyak diperdebatkan. Pendukung menunjuk bahwa game dapat meningkatkan keterampilan kognitif, seperti pemecahan masalah dan koordinasi mata-tangan. Sebuah studi yang diterbitkan di Nature (2024) menemukan bahwa anak-anak yang bermain game strategi menunjukkan peningkatan 12% dalam memori dan rentang perhatian. Selain itu, game multipemain mengajarkan kerja sama tim dan komunikasi, karena pemain harus berkolaborasi untuk mencapai tujuan.
Namun, penentang memperingatkan tentang potensi bahaya bermain game berlebihan. Organisasi Kesehatan Dunia (2025) mengklasifikasikan gangguan bermain game sebagai kondisi kesehatan mental, ditandai dengan kontrol yang terganggu terhadap kebiasaan bermain. Waktu layar berlebih juga dikaitkan dengan obesitas dan kurang tidur pada anak. Selain itu, game kekerasan secara kontroversial dikaitkan dengan perilaku agresif, meskipun penelitian tentang hal ini masih belum konklusif.
Kesimpulannya, video game tidak secara inheren baik atau buruk—dampaknya tergantung pada jenis game, durasi bermain, dan bimbingan orang tua. Moderasi dan memilih game yang sesuai usia sangat penting untuk memastikan bahwa bermain game tetap menjadi pengalaman positif bagi anak."
English Version:
"The practice of assigning homework has been a staple of education for centuries, but its effectiveness is increasingly questioned. Supporters argue that homework reinforces classroom learning and teaches students responsibility. According to the National Education Association (2024), students who complete homework regularly score 20% higher on standardized tests. Homework also allows parents to engage with their children's education, bridging the gap between school and home.
On the contrary, many educators and parents believe homework does more harm than good. A study by Stanford University (2025) found that excessive homework leads to stress, sleep deprivation, and even physical health problems like headaches in students. Critics also point out that homework can widen the achievement gap, as students from disadvantaged backgrounds may lack resources or a quiet space to complete assignments.
In light of these arguments, a complete ban on homework may not be the answer. Instead, schools could adopt a more balanced approach, such as limiting homework to 30 minutes per night for elementary students or focusing on quality over quantity. The goal should be to support learning without overwhelming students."
Terjemahan:
"Praktik memberikan pekerjaan rumah (PR) telah menjadi bagian penting dari pendidikan selama berabad-abad, tetapi efektivitasnya semakin dipertanyakan. Pendukung berargumen bahwa PR memperkuat pembelajaran di kelas dan mengajarkan tanggung jawab kepada siswa. Menurut National Education Association (2024), siswa yang secara teratur menyelesaikan PR mendapatkan nilai 20% lebih tinggi pada tes standar. PR juga memungkinkan orang tua terlibat dalam pendidikan anak mereka, menjembatani kesenjangan antara sekolah dan rumah.
Sebaliknya, banyak pendidik dan orang tua percaya bahwa PR lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Sebuah studi oleh Universitas Stanford (2025) menemukan bahwa PR berlebihan menyebabkan stres, kurang tidur, dan bahkan masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala pada siswa. Kritikus juga menunjuk bahwa PR dapat memperlebar kesenjangan prestasi, karena siswa dari latar belakang kurang mampu mungkin kekurangan sumber daya atau ruang tenang untuk menyelesaikan tugas.
Mengingat argumen-argumen ini, pelarangan total PR mungkin bukan jawabannya. Sebaliknya, sekolah bisa mengadopsi pendekatan yang lebih seimbang, seperti membatasi PR menjadi 30 menit per malam untuk siswa SD atau fokus pada kualitas daripada kuantitas. Tujuannya harus mendukung pembelajaran tanpa membebani siswa."
English Version:
"The rise in obesity rates worldwide has led many to blame fast food as the primary culprit. Proponents of this view argue that fast food is high in calories, unhealthy fats, and sugar, contributing to weight gain. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2025) reports that individuals who consume fast food more than twice a week are 30% more likely to become obese. Additionally, fast food is often cheaper and more accessible than healthier options, making it a convenient but harmful choice for low-income families.
However, others argue that fast food alone cannot be held responsible for obesity. Lifestyle factors such as lack of exercise, poor sleep, and overall diet play significant roles. A study in The Journal of Nutrition (2024) found that people who exercise regularly can consume fast food occasionally without significant weight gain. Furthermore, some fast-food chains now offer healthier menu options, such as salads and grilled items, reducing their impact on public health.
Ultimately, while fast food contributes to obesity, it is not the sole cause. A holistic approach that includes education on nutrition, access to affordable healthy foods, and promotion of physical activity is necessary to combat the obesity epidemic effectively."
Terjemahan:
"Peningkatan angka obesitas di seluruh dunia membuat banyak orang menyalahkan makanan cepat saji sebagai penyebab utamanya. Pendukung pandangan ini berargumen bahwa makanan cepat saji tinggi kalori, lemak tidak sehat, dan gula, yang berkontribusi pada penambahan berat badan. Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2025) melaporkan bahwa individu yang mengonsumsi makanan cepat saji lebih dari dua kali seminggu memiliki risiko 30% lebih tinggi menjadi obesitas. Selain itu, makanan cepat saji seringkali lebih murah dan mudah diakses dibandingkan pilihan sehat, menjadikannya pilihan praktis namun berbahaya bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Namun, yang lain berargumen bahwa makanan cepat saji saja tidak bisa disalahkan atas obesitas. Faktor gaya hidup seperti kurang olahraga, tidur yang buruk, dan pola makan secara keseluruhan memainkan peran penting. Sebuah studi dalam The Journal of Nutrition (2024) menemukan bahwa orang yang berolahraga secara teratur dapat mengonsumsi makanan cepat saji sesekali tanpa penambahan berat badan yang signifikan. Selain itu, beberapa rantai makanan cepat saji kini menawarkan menu lebih sehat, seperti salad dan item panggang, mengurangi dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Pada akhirnya, meskipun makanan cepat saji berkontribusi terhadap obesitas, makanan tersebut bukan satu-satunya penyebab. Pendekatan holistik yang mencakup pendidikan tentang gizi, akses ke makanan sehat yang terjangkau, dan promosi aktivitas fisik diperlukan untuk melawan epidemi obesitas secara efektif."
Sekarang kamu sudah paham struktur dan contohnya, tapi bagaimana cara menulis discussion text yang menarik dan bernilai tinggi? Ikuti tips berikut ini:
Avoid topik yang terlalu sepihak (misal: "Apakah polusi buruk?"). Pilihlah isu yang memiliki argumen pro dan kontra seimbang, seperti:
Jangan hanya mengandalkan opini pribadi! Cari fakta, statistik, atau studi kasus dari sumber terpercaya seperti:
Contoh: Jika menulis tentang dampak media sosial, kutip data dari "Digital 2025 Report by We Are Social".
Hindari pembukaan klise seperti "Nowadays, many people debate about…". Coba gunakan:
Jangan membuat satu sisi terlihat lebih kuat dari yang lain. Berikan:
Banyak pelajar kehilangan nilai karena kesalahan sepele. Pastikan kamu tidak:
Tim ahli kami siap membantu Anda menyelesaikan tugas akademik dengan kualitas terbaik. Dapatkan bantuan profesional untuk skripsi, tesis, dan berbagai jenis tugas kuliah.
Konsultasi Gratis Sekarang