Di era digital saat ini, berbagi momen kebahagiaan bersama anak di media sosial sudah menjadi kebiasaan banyak orang tua. Namun, tanpa disadari, bahaya sharenting di media sosial bisa mengancam privasi, keamanan, bahkan kesehatan mental anak. Sharenting, atau oversharing informasi tentang anak secara online, ternyata memiliki dampak jangka panjang yang sering kali diabaikan.
Menurut survei yang dilakukan oleh Kaspersky pada 2024, lebih dari 80% anak di bawah usia 5 tahun sudah memiliki jejak digital yang dibuat oleh orang tua mereka. Padahal, anak-anak ini belum mampu memberikan persetujuan atau memahami risiko dari paparan data pribadi mereka. Lalu, apa saja bahaya nyata dari sharenting? Bagaimana cara menghindarinya? Dan seperti apa hukum sharenting di Indonesia? Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.
Sharenting adalah tindakan orang tua (atau pengasuh) yang secara aktif membagikan informasi, foto, atau video tentang anak mereka di media sosial, mulai dari momen sehari-hari hingga data sensitif seperti nama lengkap, tanggal lahir, atau lokasi sekolah. Istilah ini berasal dari gabungan kata sharing (berbagi) dan parenting (pengasuhan).
Meskipun terlihat sepele, sharenting bisa menjadi berbahaya jika dilakukan secara berlebihan atau tanpa pertimbangan privasi. Berikut beberapa contoh sharenting yang sering ditemukan:
Sharenting bukan berarti orang tua dilarang sama sekali berbagi momen anak, tetapi perlu ada batasan dan kesadaran akan risikonya. Jika tidak dikendalikan, praktik ini bisa berdampak buruk bagi anak, baik sekarang maupun di masa depan.
Membagikan foto atau informasi anak di media sosial mungkin terasa tidak berbahaya, tetapi studi menunjukkan bahwa dampak negatif sharenting terhadap anak bisa sangat serius. Berikut beberapa risiko utama yang perlu diketahui:
Setiap foto atau informasi yang dibagikan di media sosial bisa disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya:
Anak yang foto atau informasinya sering dibagikan tanpa persetujuan bisa mengalami:
Sebuah penelitian dari Journal of Pediatrics (2020) menyebutkan bahwa anak yang menjadi korban sharenting berlebihan cenderung memiliki tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi saat remaja.
Foto atau video anak yang lucu sering kali menjadi incaran iklan atau konten viral. Tanpa disadari, orang tua bisa saja telah "menjual" citra anak mereka kepada pihak ketiga tanpa imbalan atau perlindungan hukum.
Sekali data anak tersebar di internet, sangat sulit untuk menghapusnya sepenuhnya. Hal ini bisa memengaruhi reputasi mereka di masa depan, seperti saat melamar pekerjaan atau kuliah.
Sharenting bukan hanya teori belaka. Di Indonesia, sudah ada beberapa contoh kasus bahaya sharenting yang menjadi peringatan bagi orang tua. Berikut beberapa di antaranya:
Pada 2023, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menangani kasus di mana foto anak-anak yang dibagikan oleh orang tua di media sosial diunduh dan diedit menjadi konten pornografi. Pelaku kemudian menyebarkannya di forum-forum ilegal. Kasus ini menunjukkan betapa mudahnya data anak disalahgunakan jika tidak dilindungi.
Di Jakarta, seorang anak berusia 6 tahun hampir menjadi korban penculikan setelah orang tuanya sering membagikan lokasi dan jadwal aktivitas anak di Instagram. Pelaku mengaku mendapatkan informasi tersebut dari unggahan orang tua korban.
Seorang remaja di Surabaya mengalami bullying di sekolah karena foto masa kecilnya yang lucu (tetapi memalukan) dibagikan oleh ibunya di Facebook. Foto tersebut kemudian disebarkan oleh teman-temannya sebagai bahan ejekan.
Beberapa kasus penipuan kartu kredit dan pinjaman online melibatkan penggunaan data anak yang dibagikan oleh orang tua di media sosial. Pelaku menggunakan nama dan tanggal lahir anak untuk membuat akun palsu.
Kasus-kasus ini membuktikan bahwa bahaya membagikan foto anak di media sosial bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Orang tua perlu lebih berhati-hati dalam mengelola jejak digital anak.
Tidak semua orang tua menyadari bahwa mereka sudah terlalu jauh dalam berbagi informasi anak. Berikut beberapa ciri-ciri orang tua yang melakukan sharenting berlebihan:
Jika Anda menemukan diri sendiri melakukan salah satu (atau beberapa) hal di atas, saatnya untuk merefleksikan kembali kebiasaan berbagi di media sosial. Ingat, sharenting adalah tindakan yang berbahaya bagi privasi anak jika tidak dikendalikan.
Di Indonesia, hukum sharenting belum diatur secara spesifik, tetapi beberapa pasal dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) bisa menjadi acuan untuk melindungi privasi anak. Berikut beberapa pasal yang relevan:
Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak atas privasi dan perlindungan data pribadi. Jika orang tua membagikan informasi anak tanpa persetujuan (terutama anak yang sudah mampu memahami), hal ini bisa dianggap melanggar hak privasi anak.
Pasal ini melarang penyebaran konten pornografi, termasuk foto atau video anak yang dieksploitasi secara seksual. Orang tua yang tanpa sengaja membagikan foto anak dalam kondisi tidak pantas bisa terkena sanksi jika konten tersebut disalahgunakan.
Jika informasi yang dibagikan tentang anak ternyata tidak akurat atau menyesatkan (misalnya, memalsukan prestasi anak untuk mendapatkan pujian), hal ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran.
UU ini menjamin hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan, termasuk di dunia digital. Orang tua yang dengan sengaja membahayakan anak melalui sharenting berlebihan bisa dianggap melanggar UU ini.
Meskipun belum ada hukuman spesifik untuk sharenting, orang tua tetap bisa dituntut jika tindakan mereka menyebabkan kerugian atau bahaya bagi anak. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan hukum sebelum membagikan informasi anak secara online.
Anda tidak perlu berhenti total berbagi momen bersama anak, tetapi perlu menerapkan cara menghindari bahaya sharenting di media sosial dengan bijak. Berikut beberapa tips praktis:
Dengan menerapkan tips di atas, Anda tetap bisa menikmati kebahagiaan berbagi momen tanpa harus mengorbankan privasi anak. Ingat, keamanan digital anak adalah tanggung jawab orang tua.
Bahaya sharenting di media sosial bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Dari risiko penculikan, eksploitasi data, hingga dampak psikologis jangka panjang, praktik ini bisa membahayakan masa depan anak. Meskipun tidak ada larangan mutlak untuk berbagi momen kebahagiaan, orang tua perlu menyadari batasan dan konsekuensi dari setiap unggahan.
Sebagai orang tua di era digital, tugas kita bukan hanya mengasuh anak di dunia nyata, tetapi juga melindungi mereka di dunia maya. Mulailah dengan:
Jika Anda masih bingung tentang bagaimana mengelola media sosial dengan aman, Anda bisa mempelajari lebih lanjut tentang dampak media sosial terhadap psikologi atau membaca panduan tentang komunikasi yang efektif untuk menghindari kesalahan dalam berbagi informasi. Ingat, setiap post yang Anda bagikan hari ini bisa menjadi beban bagi anak di masa depan.
Sebagai penutup, mari jadikan media sosial sebagai alat untuk kebaikan, bukan ancaman. Lindungi privasi anak Anda, karena mereka berhak atas masa kecil yang aman—baik di dunia nyata maupun digital. Untuk konten edukatif lainnya seputar parenting dan keamanan online, kunjungi Tugasin.
Tim ahli kami siap membantu Anda menyelesaikan tugas akademik dengan kualitas terbaik. Dapatkan bantuan profesional untuk skripsi, tesis, dan berbagai jenis tugas kuliah.
Konsultasi Gratis Sekarang