Pengabaian Emosi vs Pemendaman: Mana yang Lebih Berbahaya?
Emosi adalah bagian alami dari kehidupan manusia, tetapi tidak semua orang mengelolanya dengan cara yang sehat. Dua pola yang sering muncul adalah pengabaian emosi dan pemendaman emosi. Keduanya terdengar mirip, tapi memiliki dampak yang sangat berbeda terhadap kesehatan mental dan hubungan sosial. Lantas, mana yang lebih berbahaya?
Artikel ini akan membahas perbedaan keduanya, ciri-ciri orang yang melakukannya, bahaya jangka panjang, serta cara mengatasinya. Jika kamu sering merasa "tidak enak" tapi sulit mengidentifikasi perasaanmu, atau justru terlalu sering menahan amarah/sedih, informasi ini penting untukmu.
Perbedaan Pengabaian dan Pemendaman Emosi
Kedua istilah ini sering tertukar, padahal mekanismenya berbeda:
- Pengabaian emosi (emotional avoidance): Menolak mengakui atau merasakan emosi sama sekali. Seolah-olah "tidak ada yang terjadi" meski secara objektif ada pemicu emosional. Contoh: seseorang yang baru putus cinta tapi berkata, "Aku baik-baik saja, tidak perlu dibahas."
- Pemendaman emosi (emotional suppression): Mengakui adanya emosi, tetapi sengaja menahannya untuk tidak diekspresikan. Contoh: marah pada atasan tapi tersenyum dan diam saja di rapat.
Studi dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa pemendaman emosi meningkatkan aktivitas amigdala (bagian otak yang mengatur ketakutan dan stres), sementara pengabaian justru mengurangi kemampuan otak untuk memproses emosi secara adaptif [Sumber].
Tanda-Tanda Seseorang Mengabaikan Emosinya
Orang yang mengabaikan emosi biasanya menunjukkan ciri-ciri ini:
- Selalu merespons dengan "Aku tidak merasa apa-apa" ketika ditanya perasaannya.
- Menghindari pembicaraan tentang topik sensitif (misal: "Jangan dibahas lagi, sudah lewat.").
- Mengalami blank mind atau kesulitan mengidentifikasi emosi (alexithymia).
- Menggunakan distrasi berlebihan (kerja tanpa henti, scrolling media sosial, atau hobi ekstrim) untuk menghindari merasakan.
- Sulit berempati karena tidak terbiasa "membaca" emosi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam hubungan, pengabaian emosi sering terlihat ketika pasangan menolak berdiskusi tentang konflik dengan alasan "tidak penting" atau "sudah selesai", padahal masalahnya belum terselesaikan. Ini bisa menyebabkan dinamika hubungan yang tidak sehat jangka panjang.
Ciri-Ciri Orang yang Memendam Emosi
Berbeda dengan pengabaian, pemendaman emosi justru menunjukkan kesadaran akan adanya emosi—tapi tidak mau mengekspresikannya. Ciri-cirinya:
- Serangan fisik tanpa penyebab medis jelas (sakit kepala, nyeri otot, gangguan pencernaan) karena stres emosional yang tertahan.
- Ekspresi wajah atau bahasa tubuh yang kaku, meski sedang dalam situasi emosional.
- Menggunakan humor sarkastik atau sindiran pasif-agresif sebagai "katup pengaman".
- Mengalami emotional outburst (ledakan emosi tiba-tiba) setelah menahan terlalu lama.
- Merasa lelah secara mental meski tidak melakukan aktivitas fisik berat.
Penelitian dari American Psychological Association menemukan bahwa pemendaman emosi kronis berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan penurunan sistem kekebalan tubuh [Sumber].
Bahaya Memendam Emosi Terlalu Lama
Baik pengabaian maupun pemendaman emosi memiliki dampak negatif, tetapi pemendaman cenderung lebih berisiko dalam jangka pendek karena:
1. Dampak Fisik
- Peningkatan hormon stres (kortisol) yang memicu peradangan kronis.
- Gangguan tidur, termasuk insomnia atau tidur tidak nyenyak.
- Sistem pencernaan terganggu (misal: IBS atau irritable bowel syndrome).
2. Dampak Psikologis
- Depresi dan kecemasan yang muncul tiba-tiba tanpa pemicu jelas.
- Kesulitan membangun hubungan intim karena ketidakmampuan membuka diri.
- Perasaan kosong atau emotional numbness (tidak merasakan apa-apa).
3. Dampak Sosial
- Orang lain merasa "berjalan di atas telur" karena tidak tahu kapan emosi yang tertahan akan meledak.
- Komunikasi menjadi tidak autentik, sehingga hubungan terasa dangkal.
- Risiko konflik yang lebih besar ketika emosi akhirnya keluar dalam bentuk yang tidak terkendali.
Sementara itu, pengabaian emosi lebih berbahaya dalam jangka panjang karena:
- Mengurangi kemampuan otak untuk memproses emosi secara alami (seperti "otot yang tidak dilatih").
- Menyulitkan pengambilan keputusan, karena emosi memainkan peran kunci dalam penilaian risiko.
- Meningkatkan risiko burnout karena tidak mengenali sinyal kelelahan emosional.
Pengabaian Emosi dalam Hubungan: Mengapa Berbahaya?
Dalam konteks hubungan (pasangan, keluarga, atau pertemanan), pengabaian emosi bisa merusak keintiman karena:
- Kurangnya validasi: Pasangan merasa tidak didengar atau dihargai ketika emosinya diabaikan.
- Akumulasi ketidakpuasan: Masalah kecil menumpuk karena tidak pernah dibahas.
- Ketergantungan pada asumsi: Kedua belah pihak menebak-nebak perasaan satu sama lain tanpa komunikasi jelas.
- Risiko emotional affair: Seseorang mungkin mencari validasi emosional di luar hubungan karena tidak mendapatkannya dari pasangan.
Contoh nyata: Seorang suami yang selalu menjawab "Tidak apa-apa" ketika ditanya tentang stres kerjanya, padahal dia merasa tertekan. Istri pun tidak tahu bagaimana membantu, dan akhirnya keduanya terjebak dalam siklus kesalahpahaman.
Cara Mengatasi Pemendaman dan Pengabaian Emosi
Mengubah pola ini membutuhkan kesadaran dan latihan. Berikut langkah-langkah praktis:
1. Untuk Pemendaman Emosi
- Latih emotional labeling: Beri nama emosi yang dirasakan (misal: "Aku sedang cemas tentang presentasi besok").
- Gunakan teknik progressive muscle relaxation: Rilekskan tubuh untuk mengurangi ketegangan fisik akibat emosi tertahan.
- Tulis jurnal emosi: Catat apa yang dirasakan tanpa sensor, lalu baca kembali untuk memahami polanya.
- Cari ruang aman untuk mengekspresikan: Mulai dari orang terdekat yang tidak menghakimi, atau terapis.
2. Untuk Pengabaian Emosi
- Latih mindfulness: Fokus pada sensasi fisik (misal: detak jantung cepat ketika gugup) sebagai "jendela" untuk mengenali emosi.
- Gunakan skala emosi: Beri skor 1-10 pada intensitas emosi (misal: "Kemarahan level 3").
- Tanyakan "mengapa" berulang: "Mengapa aku merasa tidak nyaman dengan topik ini?" untuk menggali akar masalah.
- Terapi emotion-focused: Terapi ini khusus membantu orang yang sulit mengakses emosi. Kamu bisa mencari informasi lebih lanjut tentang program psikologi yang menawarkan pendampingan serupa.
3. Untuk Keduanya
- Batasi distrasi: Kurangi penggunaan media sosial atau kerja berlebihan sebagai pelarian.
- Cari komunitas yang sehat: Bergabung dengan grup yang mendorong kejujuran emosional (misal: kelas pengembangan diri).
- Latih komunikasi asertif: Belajar mengungkapkan kebutuhan tanpa menyerang atau menyalahkan.
Terapi untuk Mengatasi Pemendaman Emosi
Jika pola ini sudah mengganggu kehidupan sehari-hari, pertimbangkan terapi profesional. Beberapa pendekatan efektif:
- Terapi Kognitif Perilaku (CBT): Membantu mengidentifikasi pola pikir yang memperburuk pemendaman emosi.
- Terapi Penerimaan dan Komitmen (ACT): Mengajarkan cara menerima emosi tanpa menghakimi diri sendiri.
- Terapi Fokus Emosi (EFT): Khusus untuk pasangan atau individu yang kesulitan mengelola emosi dalam hubungan.
- Biofeedback: Menggunakan alat untuk melatih pengaturan respons fisik terhadap emosi (misal: detak jantung).
Di Indonesia, banyak universitas menawarkan layanan konseling psikologi dengan biaya terjangkau. Jika kamu tertarik mendalami ilmu ini, pertimbangkan untuk mengambil kelas karyawan jurusan psikologi untuk pemahaman yang lebih mendalam.
Kesimpulan: Mana yang Lebih Berbahaya?
Pemendaman emosi cenderung lebih berbahaya dalam jangka pendek karena risiko ledakan emosi yang merusak hubungan dan kesehatan fisik. Sementara pengabaian emosi lebih berisiko dalam jangka panjang karena mengikis kemampuan untuk merasakan dan memproses emosi secara sehat.
Kunci utamanya adalah kesadaran. Mulailah dengan mengenali pola mana yang kamu lakukan, lalu ambil langkah kecil untuk mengubahnya. Ingat, emosi bukan musuh—mereka adalah sinyal penting yang membantu kita memahami diri dan kebutuhan kita.
Jika kamu merasa kesulitan melakukannya sendiri, jangan ragu mencari bantuan profesional. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Untuk informasi lebih lanjut tentang pengelolaan emosi atau topik psikologi lainnya, kunjungi Tugasin.