Sudah siap menghadapi tantangan terbesar di tes IELTS Speaking? Part 3 sering menjadi momok bagi banyak peserta karena membutuhkan kemampuan berdiskusi secara kritis dengan examiner. Berbeda dengan Part 1 yang santai atau Part 2 yang monolog, di sini kamu akan diuji kemampuan mengembangkan ide, menganalisis topik secara mendalam, dan menggunakan bahasa Inggris akademis. Nah, artikel ini akan membantumu memahami exactly apa yang diharapkan examiner, lengkap dengan 15+ contoh pertanyaan terbaru 2025 beserta jawaban berkualitas tinggi yang bisa kamu adaptasi. Simak sampai habis ya!
Jika di Part 2 kamu diminta bercerita selama 2 menit tentang topik tertentu, maka Part 3 adalah sesi diskusi dua arah yang berkaitan dengan topik tersebut. Examiner akan menggali pemahamanmu lebih dalam melalui pertanyaan-pertanyaan analitis. Berikut ciri khasnya:
Pro tip: Jangan hanya menjawab "Ya/Tidak"! Examiner ingin melihat how kamu mengorganisir ide. Gunakan struktur PEEL (Point-Evidence-Explanation-Link) untuk jawaban yang kuat. Butuh latihan intensif? Coba layanan Tugasin untuk sesi simulasi dengan tutor berpengalaman!
Sebelum melihat contoh, pahami dulu 4 strategi emas ini:
Kami pilih 5 topik populer beserta variasi pertanyaannya. Setiap jawaban dirancang dengan struktur PEEL dan kosa kata band 7+.
Related to Part 2 topic: "Describe a historic place you visited"
Jawaban Band 7+:
Indonesia memiliki deep-rooted appreciation untuk warisan budaya, termasuk bangunan bersejarah. Mayoritas masyarakat memandang pelestarian sebagai a collective responsibility, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Misalnya, di Yogyakarta, komunitas lokal secara aktif terlibat dalam merenovasi keraton (istana kerajaan) dan candi-candi kuno melalui program crowdfunding dan kerja bakti.
Alasan utamanya adalah cultural identity. Bangunan seperti Lawang Sewu di Semarang atau Kota Tua Jakarta dianggap sebagai tangible links ke masa lalu yang membentuk identitas nasional. Selain itu, ada economic incentive: pariwisata bersejarah menyumbang 15% dari pendapatan sektor pariwisata nasional tahun 2024. Namun, tantangannya adalah urban development pressure—banyak bangunan bersejarah yang dirobohkan untuk pembangunan mal atau apartemen.
Personally, saya percaya edukasi sejak dini adalah kunci. Sekolah-sekolah sekarang mengadakan field trips ke situs bersejarah, yang meningkatkan kesadaran generasi muda.
Jawaban:
Tentu saja! Situs bersejarah bisa menjadi catalyst for multi-dimensional growth. Pertama, dari segi economic boost: Borobudur misalnya, menarik 3 juta wisatawan tahunan, yang mendorong pertumbuhan UMKM lokal seperti penginapan, restoran, dan toko suvenir. Kedua, social cohesion: situs seperti Trowulan (bekas ibu kota Majapahit) menjadi tempat berkumpulnya komunitas untuk festival budaya, memperkuat rasa kebersamaan.
Yang menarik, ada ripple effect pada sektor pendidikan. Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk program magang arkeologi, memberikan pengalaman praktis bagi mahasiswa. Tidak kalah penting, situs bersejarah sering menjadi green spaces di tengah kota, seperti Alun-Alun Keraton Yogyakarta yang berfungsi sebagai paru-paru kota.
Having said that, manfaat ini hanya optimal jika dikelola dengan baik. Tanpa perencanaan yang matang, situs bersejarah justru bisa menjadi burden karena biaya pemeliharaan yang tinggi.
Jawaban:
Masa depan situs bersejarah akan ditentukan oleh three key factors: teknologi, regulasi, dan kesadaran publik. Dari sisi teknologi, digital preservation seperti pemindaian 3D (seperti yang dilakukan untuk Candi Prambanan) memungkinkan dokumentasi detail tanpa merusak struktur asli. Ini juga membuka peluang virtual tourism, yang bisa mengurangi tekanan fisik pada situs.
Namun, the elephant in the room adalah konflik antara pelestarian dan pembangunan. Di Jakarta, misalnya, gedung-gedung bersejarah seperti Gedung Joang '45 berulang kali terancam pembongkaran. Solusinya? Adaptive reuse—mengubah fungsi bangunan tanpa merusak arsitektur, seperti mengonversi gudang kolonial menjadi kafe atau galeri seni. Singapura sudah sukses menerapkan model ini.
Saya optimis jika ada collaborative effort antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Program seperti "Adopsi Cagar Budaya" yang diluncurkan Kementerian Pendidikan tahun 2024 menunjukkan promising start.
Related to Part 2 topic: "Describe a history lesson you remember"
Jawaban:
Saya masih ingat pengalaman belajar sejarah di era 2000-an yang sangat textbook-centric. Metode pengajaran dominan adalah rote memorization: guru menjelaskan kronologi peristiwa (misal: proklamasi, konfrontasi Malaysia, reformasi) sementara kami menghafal tanggal dan tokoh kunci. Media pembelajaran terbatas pada peta dinding, gambar hitam-putih di buku, dan kadang film dokumenter low-budget yang ditayangkan via VHS.
Yang menarik, meski metode ini dianggap outdated sekarang, ada satu aspek positif: storytelling. Guru saya sering melengkapi pelajaran dengan cerita pribadi—misalnya, pengalamannya sebagai mahasiswa selama Tragedi Semanggi 1998. Ini membuat sejarah terasa relatable dan emosional.
Sayangnya, critical thinking jarang dikembangkan. Kami jarang diminta menganalisis penyebab suatu peristiwa atau membandingkan perspektif berbeda. Sekarang, dengan kurikulum merdeka, pendekatan sudah berubah menjadi lebih inquiry-based, di mana siswa diajak meneliti sumber primer seperti surat kabar lama atau wawancara dengan saksi sejarah.
Jawaban:
Absolut! Di era digital ini, learning history has never been more accessible. Pertama, podcasts seperti "Sejarah Indonesia" oleh Historica menawarkan narasi mendalam dengan sudut pandang yang sering tidak diajarkan di sekolah. Kedua, interactive platforms seperti Google Arts & Culture memungkinkan kita menjelajahi museum dunia secara virtual—saya baru-baru ini "mengunjungi" Museum Nasional Indonesia dan melihat koleksi prasasti kuno dalam resolusi 4K!
Yang tidak kalah penting adalah community-based learning. Di Bandung, misalnya, ada komunitas "Jelajah Sejarah" yang mengadakan tur gratis ke lokasi-lokasi bersejarah seperti Gedung Sate atau Stasiun Hall, dipandu oleh sejarawan lokal. Ada juga oral history projects di mana generasi muda mewawancarai kakek-nenek mereka tentang pengalaman hidup di era tertentu—ini memberikan perspektif grassroots yang sering absen dari buku teks.
Fun fact: Game seperti "Assassin's Creed" yang settingnya di era tertentu (misal: Revolusi Prancis) juga bisa menjadi gateway untuk mempelajari sejarah, asalkan dimakan dengan a grain of salt karena adanya artistic license.
Related to Part 2 topic: "Describe your dream home"
Jawaban:
Trend hunian di Indonesia tahun 2025 didominasi oleh two contrasting models: compact urban apartments dan tropical modern houses. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, apartemen studio berukuran 20-30m² menjadi pilihan utama milenial karena affordability dan lokasi strategis dekat pusat bisnis. Fasilitas seperti co-working spaces dan smart home systems (pengaturan suhu dan pencahayaan via app) menambah daya tarik.
Sebaliknya, di daerah pinggiran kota atau Bali, tropical modern architecture sedang booming. Desain ini memadukan open-plan layouts, atap tinggi untuk sirkulasi udara, dan material alami seperti bambu dan batu paras. Contohnya, villa di Ubud yang menawarkan indoor-outdoor living dengan kolam renang yang menyatu dengan ruang tamu. Faktor lingkungan juga berperan: rumah dengan solar panels dan rainwater harvesting sekarang mendapat tax incentives dari pemerintah.
Interestingly, ada juga tren co-living spaces untuk profesional muda, di mana mereka berbagi fasilitas seperti dapur dan ruang santai—mirip dengan komune namun dengan privasi yang lebih terjaga.
Jawaban:
Ini adalah common misconception! Meskipun rumah besar sering diasosiasikan dengan kesuksesan, banyak orang sekarang justru memilih hunian minimalist karena beberapa alasan. Pertama, financial pragmatism: dengan harga properti yang melambung (harga rumah di Jakarta naik 20% sejak 2023), rumah kecil berarti lower mortgage payments dan lebih sedikit utang.
Kedua, lifestyle shifts. Generasi Z dan milenial mengutamakan experiences over possessions. Banyak dari mereka lebih suka mengalokasikan dana untuk traveling atau investasi daripada membeli rumah besar. Saya punya teman yang menjual rumahnya di Jakarta Selatan dan pindah ke tiny house 30m² di Bogor—dia sekarang memiliki lebih banyak waktu dan uang untuk hobi backpacking.
Yang mengejutkan, psychological factors juga berperan. Studi dari Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa rumah yang terlalu besar bisa menyebabkan social isolation—orang cenderung kurang berinteraksi dengan tetangga. Sebaliknya, compact neighborhoods seperti di kampung-kampung Jawa mendorong communal living dan rasa aman.
That being said, rumah besar tetap ideal untuk keluarga dengan anak atau mereka yang membutuhkan home office space pasca-pandemi.
Related to Part 2 topic: "Describe a market you often visit"
Jawaban:
Pasar tradisional tetap menjadi the heartbeat of Indonesian commerce, meski dengan dinamika yang berubah. Menurut data BPS 2025, 65% masyarakat masih mengandalkan pasar untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk fresh produce. Jenis pasar yang paling populer adalah:
Ada juga hybrid markets seperti Pasar Modern BSD yang menggabungkan konsep tradisional dengan fasilitas modern (AC, kartu kredit, dll.). Interestingly, pasar tradisional sekarang menggunakan teknologi—banyak pedagang menerima pembayaran via QRIS dan mempromosikan barangnya lewat TikTok!
Jawaban:
Ya, pasar memiliki unique advantages untuk kategori produk tertentu:
Sebaliknya, barang standardized seperti elektronik atau obat-obatan lebih cocok dijual di toko karena membutuhkan quality assurance dan garansi. Pasar juga kurang ideal untuk produk high-end karena kurangnya branding atmosphere.
Related to Part 2 topic: "Describe a game you played in your childhood"
Jawaban:
Perubahan permainan anak selama 20 tahun terakhir adalah a tale of two extremes: dari physical, social play ke digital, individualized entertainment. Saat saya kecil di era 90-an, permainan dominan adalah:
Sekarang, screen time mendominasi. Game seperti "Mobile Legends" atau "Roblox" menawarkan instant gratification dan global connectivity—anak bisa bermain dengan teman dari negara lain. Namun, ada trade-offs:
Cabaran bagi orang tua sekarang adalah menemukan balance. Beberapa sekolah sudah menerapkan "unplugged hours" di mana anak-anak wajib bermain di luar tanpa gadget.
Selain contoh di atas, berikut 5 tips jitu yang jarang dibagikan:
Tim ahli kami siap membantu Anda menyelesaikan tugas akademik dengan kualitas terbaik. Dapatkan bantuan profesional untuk skripsi, tesis, dan berbagai jenis tugas kuliah.
Konsultasi Gratis Sekarang