Ketika mendengar kata isu (いす) dalam bahasa Jepang, sebagian besar dari kita langsung membayangkan sebuah kursi—benda sehari-hari yang digunakan untuk duduk. Namun, tahukah kamu bahwa di balik arti harfiahnya, isu menyimpan makna yang jauh lebih dalam, terutama dalam konteks politik, kekuasaan, dan hierarki sosial di Jepang? Bahkan, dalam dunia politik Jepang, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan perebutan jabatan, persaingan kekuasaan, ataupun simbol status seseorang.
Hal ini menjadi menarik karena dalam bahasa Indonesia, kata “isu” justru memiliki arti yang sama sekali berbeda, yaitu masalah atau topik yang sedang hangat dibicarakan. Lantas, bagaimana isu dalam bahasa Jepang bisa memiliki spektrum makna yang begitu luas? Dan mengapa kata ini sering muncul dalam berita-berita politik atau diskusi tentang kekuasaan? Mari kita telusuri bersama, mulai dari arti dasarnya hingga penerapan dalam kehidupan nyata—termasuk bagaimana kesalahpahaman bisa terjadi jika kita tidak memahami konteksnya dengan baik.
Secara harfiah, isu (いす) memang berarti “kursi” dalam bahasa Jepang. Kata ini digunakan untuk merujuk pada berbagai jenis tempat duduk, mulai dari kursi kayu sederhana di rumah hingga kursi kantor yang ergonomis. Dalam kehidupan sehari-hari, kamu akan sering mendengarnya dalam kalimat-kalimat seperti:
「このいすはとても座り心地がいいです。」 (Kono isu wa totemo suwarigokochi ga ii desu.) → “Kursi ini sangat nyaman untuk diduduki.”
Kalimat ini biasanya diucapkan ketika seseorang merasakan kenyamanan fisik dari sebuah kursi, misalnya di kafe, ruang tunggu, atau bahkan di rumah. Di Jepang, desain kursi sering kali memperhatikan ergonomi dan estetika, sehingga tidak heran jika banyak orang yang memperhatikan kualitas kursi yang mereka gunakan.
「会議室にいすを並べてください。」 (Kaigishitsu ni isu o narabete kudasai.) → “Tolong susun kursi di ruang rapat.”
Dalam konteks pekerjaan, frasa ini sering digunakan oleh atasan atau rekan kerja untuk mempersiapkan ruangan sebelum pertemuan. Di Jepang, tata letak kursi dalam rapat pun memiliki aturan tersendiri, seperti posisi kursi untuk tamu kehormatan atau pejabat tinggi yang biasanya ditempatkan di tengah atau depan ruangan.
Namun, isu tidak hanya terbatas pada benda fisik. Dalam dunia profesional dan politik, kata ini juga digunakan secara kiasan untuk merujuk pada posisi, jabatan, atau kekuasaan yang dimiliki seseorang. Misalnya, ketika seseorang mengatakan mereka “mengincar sebuah isu”, itu bisa berarti mereka berambisi untuk mendapatkan jabatan tertentu, baik di perusahaan maupun dalam pemerintahan.
Contoh penggunaan dalam konteks ini:
「彼は部長のいすを狙っている。」 (Kare wa buchō no isu o neratte iru.) → “Dia mengincar kursi kepala divisi.”
Di sini, isu tidak lagi merujuk pada benda, melainkan pada posisi kepemimpinan yang memiliki wewenang dan tanggung jawab. Penggunaan kiasan seperti ini sangat umum dalam bahasa Jepang, terutama ketika membicarakan karier, promosi, atau persaingan di tempat kerja.
Jika dalam kehidupan sehari-hari isu bisa berarti kursi atau jabatan, maka dalam dunia politik, maknanya menjadi semakin kuat. Di Jepang, kursi sering melambangkan kekuasaan. Seseorang yang “duduk di kursi” pemerintahan—seperti perdana menteri, gubernur, atau anggota parlemen—memiliki otonomi, wewenang, dan pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik.
Oleh karena itu, tidak heran jika dalam berita atau diskusi politik, kata isu sering muncul dalam konteks perebutan jabatan, suksesi kepemimpinan, atau bahkan krisis kekuasaan. Berikut beberapa contoh penggunaannya:
「首相のいすをめぐる争い」 (Shushō no isu o meguru arasoi) → “Perebutan kursi perdana menteri”
Frasa ini sering muncul ketika ada persaingan ketat antara calon-calon perdana menteri, baik dari partai yang sama maupun berbeda. Di Jepang, proses suksesi kepemimpinan sering kali melibatkan negosiasi internal partai, lobi, dan bahkan tekanan dari publik. Kursi perdana menteri bukan sekadar simbol, tetapi representasi dari kebijakan, visi, dan arah negara ke depan.
「国会のいすを増やす計画」 (Kokkai no isu o fuyasu keikaku) → “Rencana untuk menambah kursi di parlemen”
Dalam sistem politik Jepang, jumlah kursi di parlemen (国会, Kokkai) menentukan distribusi kekuasaan antarpartai. Jika sebuah partai berhasil menambah jumlah kursinya, itu berarti mereka memiliki pengaruh yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, frasa ini bisa merujuk pada strategi politik, seperti pembagian daerah pemilihan atau reformasi sistem pemilu.
「市長のいすが空いている。」 (Shichō no isu ga aite iru.) → “Kursi walikota sedang kosong (tidak ada yang menjabat).”
Ketika sebuah jabatan politik kosong—misalnya karena pengunduran diri atau akhir masa jabatan—maka “kursi” tersebut menjadi incaran bagi calon-calon baru. Di Jepang, kekosongan jabatan seperti ini sering kali memicu kampanye intensif, debat publik, dan lobi-lobi politik di balik layar. Bagi masyarakat, momen ini juga menjadi kesempatan untuk mengevaluasi kinerja pemimpin sebelumnya dan mengharapkan perubahan.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa isu dalam politik Jepang bukan sekadar metafora, tetapi cerminan dari dinamika kekuasaan yang kompleks. Siapa yang berhasil “duduk” di kursi tertentu, mereka akan memiliki akses terhadap sumber daya, pengaruh terhadap kebijakan, dan legitimasi untuk memimpin.
Dalam budaya Jepang, persaingan untuk mendapatkan isu—baik dalam arti jabatan maupun kursi fisik—sering kali dipandang sebagai bagian dari perjuangan untuk pengakuan dan prestise. Hal ini tidak hanya terjadi dalam politik, tetapi juga dalam dunia korporat, akademik, bahkan organisasi sosial.
Misalnya, dalam sebuah perusahaan, “kursi direktur” atau “kursi manajer” bukan hanya tentang gaji atau tanggung jawab, tetapi juga tentang status sosial. Orang yang berhasil menduduki posisi tersebut akan mendapatkan respek, kepercayaan, dan kesempatan untuk memengaruhi keputusan penting. Begitu pula dalam politik: merebut isu berarti merebut kesempatan untuk membentuk masa depan.
Di Jepang, persaingan untuk mendapatkan isu sering digambarkan seperti sebuah permainan strategis, di mana setiap langkah harus dihitung dengan matang. Beberapa strategi yang umum digunakan antara lain:
Jaringan dan Lobbying (Kone dan Renzoku)
Di Jepang, hubungan pribadi (kone) dan koneksi jangka panjang (renzoku) sangat penting dalam meraih posisi tinggi. Seseorang yang memiliki jaringan kuat dengan pejabat, mentor, atau tokoh berpengaruh akan lebih mudah mendapatkan dukungan untuk “duduk di kursi” yang diinginkan. Ini berlaku baik dalam politik maupun bisnis.
Pembentukan Koalisi (Rengō)
Dalam politik, partai-partai sering membentuk koalisi untuk mengamankan kursi mayoritas di parlemen. Dengan begitu, mereka bisa saling mendukung dalam pemilihan jabatan-jabatan kunci. Strategi ini juga diterapkan dalam dunia korporat, di mana divisi-divisi bekerja sama untuk mendukung kandidat internal yang dianggap paling kompeten.
Kampanye dan Citra Publik (Imēji Keisei)
Bagi politisi atau calon pemimpin, citra publik sangat menentukan apakah mereka bisa mendapatkan “kursi” yang diinginkan. Di Jepang, seorang kandidat harus menunjukkan integritas, kemampuan memimpin, dan kesesuaian dengan nilai-nilai masyarakat. Kampanye yang efektif, pidato yang meyakinkan, dan rekam jejak yang bersih menjadi kunci untuk memenangkan persaingan.
Dengan demikian, isu tidak hanya sekadar tempat duduk, tetapi juga representasi dari perjuangan, strategi, dan ambisi seseorang atau kelompok untuk mencapai puncak kekuasaan.
Salah satu hal yang sering membingungkan pembelajar bahasa Jepang—terutama mereka yang berbahasa Indonesia—adalah perbedaan makna kata “isu” antara kedua bahasa. Dalam bahasa Indonesia, “isu” berarti masalah, topik, atau perdebatan, sementara dalam bahasa Jepang, isu (いす) selalu merujuk pada “kursi” atau “jabatan”.
Kesalahpahaman bisa saja terjadi jika seseorang tidak memahami konteks ini. Misalnya:
Jika seorang pelajar bahasa Jepang mengatakan, 「最近、会社でいすがたくさんあります」 (Saikin, kaisha de isu ga takusan arimasu.) → “Belakangan ini, ada banyak kursi di kantor,” orang Jepang akan mengartikannya secara harfiah sebagai benda fisik. Padahal, mungkin yang dimaksud adalah “ada banyak masalah di kantor.”
Sebaliknya, jika seorang politisi Jepang mengatakan mereka sedang membahas isu, seorang pembelajar bahasa Indonesia mungkin mengira mereka sedang membicarakan topik kontroversial, padahal yang dimaksud adalah jabatan atau kursi kekuasaan.
Untuk menghindari kebingungan, penting untuk mengetahui kata-kata alternatif dalam bahasa Jepang yang setara dengan “isu” dalam bahasa Indonesia:
問題 (Mondai) → Masalah atau permasalahan.
Contoh: 「環境問題が深刻化している。」 (Kankyō mondai ga shinkakuka shite iru.) → “Masalah lingkungan semakin parah.”
課題 (Kadai) → Isu atau tugas yang harus diselesaikan.
Contoh: 「今後の課題として、教育改革が挙げられる。」 (Kongo no kadai toshite, kyōiku kaikaku ga agerareru.) → “Sebagai isu ke depan, reformasi pendidikan menjadi prioritas.”
論点 (Ronten) → Poin utama dalam sebuah perdebatan.
Contoh: 「今回の会議の論点は何ですか?」 (Konkai no kaigi no ronten wa nan desu ka?) → “Apa poin utama dalam rapat kali ini?”
Dengan memahami perbedaan ini, kamu bisa berkomunikasi lebih efektif dan menghindari kesalahpahaman, terutama dalam diskusi yang melibatkan politik, pekerjaan, atau isu-isu sosial.
Setelah memahami berbagai makna isu, kini saatnya melihat bagaimana kata ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dunia kerja, dan ungkapan idiomatik di Jepang.
Dalam konteks paling sederhana, isu digunakan untuk merujuk pada kursi sebagai benda fisik. Beberapa contoh penggunaannya:
「このいすは背もたれが高くて、とても快適です。」 (Kono isu wa semotare ga takakute, totemo kaiteki desu.) → “Kursi ini memiliki sandaran tinggi dan sangat nyaman.”
Di Jepang, desain kursi sangat diperhatikan, terutama untuk kenyamanan dan postur tubuh. Banyak kursi kantor dilengkapi dengan fitur ergonomis untuk mencegah masalah kesehatan seperti nyeri punggung.
「子供たちにいすの並べ方を教えています。」 (Kodomotachi ni isu no narabekata o oshiete imasu.) → “Saya mengajari anak-anak cara menyusun kursi.”
Dalam budaya Jepang, ketertiban dan kerapian sangat dihargai. Mengajari anak-anak cara menyusun kursi dengan rapi adalah bagian dari pendidikan dasar untuk membiasakan mereka dengan disiplin dan tanggung jawab.
Di tempat kerja, isu sering digunakan untuk menggambarkan posisi atau jabatan yang memiliki kekuasaan. Beberapa frasa umum:
「彼は社長のいすを継ぐ予定です。」 (Kare wa shachō no isu o tsugu yotei desu.) → “Dia dijadwalkan untuk mewarisi kursi presiden perusahaan.”
Dalam dunia korporat Jepang, suksesi kepemimpinan sering kali direncanakan jauh-jauh hari dan melibatkan proses seleksi yang ketat. Seseorang yang akan “mewarisi kursi” biasanya telah melalui pembinaan, uji kompetensi, dan persiapan matang.
「いすを譲ることは、リーダーシップの証です。」 (Isu o yuzuru koto wa, rīdāshippu no akashi desu.) → “Memberikan kursi (jabatan) adalah bukti kepemimpinan.”
Dalam budaya Jepang, seorang pemimpin yang baik bukan hanya mampu memimpin, tetapi juga mampu mendukung dan memberikan kesempatan kepada orang lain. Frasa ini sering digunakan ketika seseorang mundur dari jabatan untuk memberikan ruang bagi generasi berikutnya.
Bahasa Jepang kaya akan ungkapan idiomatik yang menggunakan isu untuk menggambarkan berbagai situasi sosial. Berikut beberapa di antaranya:
「いすに座る」 (Isu ni suwaru) → “Duduk di kursi” (mendapatkan jabatan).
Ungkapan ini digunakan ketika seseorang resmi menjabat sebuah posisi, baik dalam politik maupun bisnis. Misalnya, ketika seorang politisi terpilih menjadi gubernur, orang akan mengatakan bahwa mereka telah “duduk di kursi gubernur.”
「いすを奪う」 (Isu o ubau) → “Merebut kursi” (merebut jabatan).
Frasa ini sering muncul dalam konflik politik atau persaingan bisnis, di mana seseorang atau kelompok berusaha menggulingkan pemegang jabatan saat ini untuk mengambil alih posisi tersebut. Contohnya, dalam pemilihan kepala daerah, kandidat lawan bisa saja “merebut kursi” dari petahana.
「いすを温める」 (Isu o atatameru) → “Menghangatkan kursi” (menempati jabatan tanpa prestasi).
Ungkapan ini memiliki konotasi negatif, yaitu seseorang yang hanya menjabat tanpa memberikan kontribusi berarti. Misalnya, seorang pejabat yang tidak melakukan perubahan selama masa jabatannya bisa dikatakan “hanya menghangatkan kursi.”
Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bahwa isu (いす) dalam bahasa Jepang memiliki berbagai lapisan makna, mulai dari benda fisik hingga simbol kekuasaan dan status sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kata ini digunakan untuk merujuk pada kursi sebagai tempat duduk. Namun, dalam konteks politik dan profesional, isu merepresentasikan jabatan, persaingan, dan dinamika kekuasaan yang kompleks.
Bagi kamu yang tertarik dengan bahasa, budaya, atau politik Jepang, memahami makna ganda dari isu akan sangat membantu—baik dalam berkomunikasi maupun menganalisis berita atau diskusi sosial. Selain itu, kesadaran akan perbedaan makna antara bahasa Jepang dan Indonesia akan mengurangi risiko kesalahpahaman, terutama dalam konteks formal.
Jika kamu sedang meneliti topik serupa untuk tugas, skripsi, atau sekadar ingin mendalami budaya Jepang lebih jauh, tim ahli kami di Tugasin.me siap membantu! Kami menyediakan layanan pembuatan tugas, analisis budaya, dan bimbingan penulisan dengan pendekatan yang mendalam dan terpercaya. Dengan bantuan kami, kamu bisa menguasai materi dengan lebih cepat dan efektif—tanpa harus khawatir dengan deadline atau kesulitan dalam pencarian sumber.
Jangan biarkan kebingungan tentang makna kata atau konsep budaya menghambat pemahamanmu. Hubungi Tugasin.me sekarang dan dapatkan solusi terbaik untuk kebutuhan akademis atau penelitianmu. Kami siap membantumu meraih hasil maksimal dengan kualitas terjamin dan proses yang mudah!
Tim ahli kami siap membantu Anda menyelesaikan tugas akademik dengan kualitas terbaik. Dapatkan bantuan profesional untuk skripsi, tesis, dan berbagai jenis tugas kuliah.
Konsultasi Gratis Sekarang